Tiap Hari yang Biasa
Tags: fiksi, refleksi, kehidupan sehari-hari
Andhika Rafi Sunggoro
7/27/20251 min read


Aku bangun pukul 06.37, bukan karena alarm, tapi karena cahaya matahari yang masuk dari celah gorden. Hari sudah terlalu terang untuk pura-pura masih malam.
Seperti biasa, aku mengecek HP. Tidak ada pesan penting. Grup kantor ribut soal siapa yang harus ambil shift jaga booth pameran. Aku diam saja.
Sarapan seadanya: roti tawar gosong dan telur ceplok setengah gagal. Sambil makan, aku mendengar bunyi kendaraan dari luar. Klakson motor. Anjing tetangga menggonggong. Radio warung menyetel lagu lama. Semua suara itu membentuk orkestra pagi yang sama, yang tak pernah berubah.
Kereta datang tepat waktu. Seperti biasa, aku berdiri di sudut kiri gerbong, tempat yang cukup jauh dari pintu dan cukup dekat dari tiang pegangan. Aku sudah hafal pola wajah orang-orang di jam segini. Ada ibu-ibu berseragam puskesmas. Ada pegawai kantor dengan dasi masih belum sempurna. Ada remaja yang tertidur sambil berdiri.
Hari-hariku berjalan dalam pola: masuk kantor, buka laptop, ikut rapat, makan siang, kirim email, lalu pulang. Orang lain mungkin bilang hidupku monoton. Tapi aku merasa ada keindahan dalam kebiasaan ini.
Di halte tempat aku biasa turun, ada penjual gorengan yang selalu menyapaku, meski aku jarang beli. Hari ini dia bilang, “Masih capek ya, Mas? Kelihatan dari jalannya.” Aku hanya tertawa. Mungkin dia benar. Mungkin aku terlihat lelah.
Sesampainya di rumah, aku duduk lama di kasur, membuka jendela lebar-lebar. Matahari sore masuk, menghangatkan seisi kamar. Di momen itu, aku sadar: hidupku tidak spektakuler, tidak juga dramatis. Tapi setiap harinya menyisakan serpih kecil yang patut disyukuri.
Kadang, tidak ada yang luar biasa pun tidak apa-apa.
Karena dalam tiap hari yang biasa, ada hidup yang terus berjalan — dan itu saja sudah cukup istimewa.