Tempat Kita Selalu Bertemu
mimpi berulang, dunia paralel, relasi, penyesalan, loop
SHORT STORY
Andhika Rafi Sunggoro
6/29/20252 min read


Aku sering memimpikan tempat yang sama.
Selalu malam.
Selalu hujan.
Selalu stasiun kecil yang tak ada di peta mana pun.
Di bangku paling ujung, kamu duduk.
Mengenakan sweater abu-abu yang sudah tampak usang.
Rambutmu basah, tapi kamu tidak keberatan.
Dan aku selalu datang dari arah yang sama — tangga berkeramik hitam, kaki kanan duluan.
Akhirnya datang juga, katamu.
Seolah aku selalu terlambat.
Kita duduk berdampingan.
Tidak banyak bicara. Hanya duduk.
Kadang aku ingin menyentuh tanganmu, tapi selalu ragu.
Kadang kamu tanya,
kamu masih ingat saat kita ke danau itu?
Kadang kamu bilang,
jangan bangun dulu ya.
Kadang kamu diam, dan hanya menatap kereta yang tak pernah tiba.
Mimpi ini datang berulang.
Tidak tiap malam,
tapi sering cukup untuk membuatku bertanya:
apakah ini hanya mimpi...
atau semacam dimensi lain yang cuma muncul saat otakku tidak dijaga logika?
Aku coba mencari tempat itu di dunia nyata.
Google Maps, Reddit, forum mimpi.
Nihil.
Tapi wajahmu?
Jelas.
Masalahnya:
aku tidak tahu siapa kamu.
Di kehidupan nyata, aku hidup biasa.
Kantor. Makan siang. Buka Instagram. Pulang.
Tapi setelah terlalu sering masuk ke stasiun itu dalam mimpi,
aku mulai rindu.
Rindu pada seseorang yang tidak ada.
Rindu pada tempat yang tak bisa aku datangi.
Rindu pada kemungkinan lain yang terasa lebih hangat dari kenyataan.
Aku mulai menulis semua detail mimpinya.
Jam dinding yang selalu mati di 00:08.
Poster yang robek di pojok stasiun.
Lagu piano samar dari pengeras suara.
Semua sama. Selalu.
Dan kamu —
kamu mulai berubah.
Di mimpi ke-14, kamu menangis.
Di mimpi ke-19, kamu bilang kita gak pernah benar-benar ketemu, ya.
Di mimpi ke-21, kamu memelukku dan bilang ini terakhir kalinya.
Aku bangun.
Jantungku berdebar.
Sejak itu, mimpi itu tidak pernah datang lagi.
Sampai hari ini.
Tadi malam, stasiun itu muncul lagi.
Kamu duduk di tempat biasa.
Kali ini aku datang lebih awal.
Kamu tersenyum kecil.
Aku capek muter-muter, kataku.
Kamu harusnya bangun.
Tapi aku gak mau, jawabku.
Di sini... kita terasa nyata.
Kamu menatapku. Lama.
Lalu berkata,
kamu yang di sana belum sembuh.
Tapi kamu yang di sini belum siap pergi.
Aku tidak menjawab. Karena mungkin kamu benar.
Dan sebelum segalanya memudar, kamu bilang satu kalimat yang masih tertinggal hingga sekarang:
Kalau takdirnya kita tak pernah jadi apa-apa di dunia nyata,
biarlah kita saling temui di mimpi saja.
Aku bangun dengan mata basah. Tapi tenang.
Karena entah di dunia yang mana,
di antara ribuan realita yang terus saling silang,
aku tahu:
kita selalu bertemu,
di stasiun yang sama,
di malam yang sama,
meski hanya sebentar.