Tamu Terakhir
thriller, misteri, isolasi, twist ending
SHORT STORY
Andhika Rafi Sunggoro
6/1/20252 min read


Hujan deras malam itu membuat penginapan kecilku terasa makin sepi. Letaknya di pinggir jalan lintas provinsi, jauh dari pusat kota. Aku, Anjar, pengelola tunggal penginapan “Singgah Senja,” sudah terbiasa hanya menerima satu dua tamu per malam.
Pukul 21.13, suara bel pintu terdengar. Seorang pria masuk, tubuhnya basah kuyup, wajahnya pucat.
“Masih ada kamar kosong?” tanyanya dengan suara parau.
Aku mengangguk. “Kebetulan tinggal satu. Mau sekalian isi data, Pak?”
“Boleh. Namaku Adrian.”
Aku menyerahkan kunci kamar nomor 3, satu-satunya kamar yang menghadap hutan kecil di belakang. Tidak banyak bicara, Adrian membawa tas kecilnya ke atas.
Beberapa menit kemudian, listrik sempat padam sebentar. Aku menyalakan genset cadangan. Saat lampu menyala lagi, aku mengecek layar CCTV. Semuanya normal.
Hingga aku melihat sesuatu yang aneh.
Tampilan dari kamera lorong lantai dua — yang hanya punya satu kamar, kamar Adrian — menunjukkan dua sosok berjalan ke dalam kamar. Bukan satu.
Aku rewind. Jelas terlihat: Adrian masuk kamar... bersama seseorang. Tapi ketika aku lihat daftar tamu hari ini, hanya ada satu nama.
Kupikir mataku salah. Tapi saat aku zoom, sosok di belakang Adrian tampak aneh — tubuhnya tegap, wajah tertutup tudung jaket.
Merasa tak nyaman, aku naik ke atas. Kupukul pintu kamar 3. “Pak Adrian, tidak apa-apa?”
Tidak ada jawaban.
Aku ketuk lagi, kali ini lebih keras. Baru terdengar sahutan lirih, “Gak apa-apa, Mas.”
Tapi suaranya berbeda. Lebih berat. Lebih dingin.
Aku kembali turun, gelisah. Malam makin larut, hujan masih deras.
Sekitar pukul 02.00, layar CCTV kembali menyala-nyala. Aku lihat gambar dari kamar 3 — seseorang keluar. Tapi bukan Adrian. Sosok itu lebih tinggi, membawa tas Adrian.
Aku cepat-cepat naik. Kamar 3 tidak terkunci. Di dalamnya kosong. Tapi ada bercak darah di sprei.
Aku panik. Mau menelepon polisi, tapi sinyal hilang. Aku turun, berniat mengecek mobil pengunjung, tapi yang kutemukan hanya sesuatu di laci meja resepsionis.
Sebuah amplop.
Dengan tulisan tangan:
“Terima kasih sudah mengurus tamu terakhirnya.”
Di dalam amplop ada satu foto. Aku dan Adrian — sedang duduk di ruang resepsionis. Tapi aku tidak pernah merasa berfoto dengannya.
Aku menoleh ke CCTV. Di monitor utama, semua kamera sudah mati.
Kecuali satu.
Kamera di resepsionis — menampilkan diriku.
Tapi aku sedang berdiri.
Dan di layar… aku sedang duduk.