Sepiring Sayur Asem
keluarga, ibu, memori, pengampunan
SHORT STORY
Andhika Rafi Sunggoro
6/8/20251 min read


Aku tiba di rumah Ibu dengan langkah berat, seperti biasa. Seperti setiap Lebaran yang aku paksakan pulang hanya demi tidak membuatnya terlalu kecewa.
Ibu membuka pintu sambil mengusap tangan ke celemeknya. Wajahnya berseri. “Kamu datang juga, Nak.”
Aku hanya mengangguk kecil, menghindari pelukan. Bukan karena benci, tapi karena terlalu banyak yang belum selesai.
Meja makan sudah penuh. Ada ayam kecap, tahu goreng, dan tentu saja, sayur asem. Masakan favoritku dulu. Yang selalu Ibu buat tiap aku pulang kampus, dulu, sebelum semuanya pecah karena satu percakapan buruk — tentang pilihan kerja, tentang jalan hidup, tentang aku yang "tidak seperti yang Ibu harapkan".
Sejak itu, komunikasi kami putus-putus. Formal, sopan, dan berjarak. Sesekali aku datang, tapi hanya sebentar. Pulang lebih cepat. Makan tidak pernah habis.
Hari ini, entah kenapa, aku diam di meja lebih lama. Memandang sayur asem itu. Uapnya mengepul pelan. Wangi yang sangat familiar. Dan seperti tubuh punya kehendaknya sendiri, tanganku mengambil sendok, dan mulai menyuap sedikit.
Masih seperti dulu. Masih asin di awal, lalu asamnya perlahan datang di lidah. Rasa yang tidak berubah, meski waktu sudah banyak mencabut kenangan kami yang lain.
Ibu duduk di seberang. Tangannya gemetar sedikit saat menuang air ke gelas. Wajahnya menua.
“Masih suka?” tanyanya pelan.
Aku menatap sayur asem itu lagi. Lalu menatap Ibu. Mata kami bertemu — dan untuk kali pertama, tidak saling menyalahkan.
Aku mengangguk. “Masih. Bahkan... lebih enak dari yang aku ingat.”
Ibu tersenyum. Tapi ada air yang menggantung di pelupuk matanya.
Hari itu kami makan bersama. Tidak ada pembahasan soal pekerjaan, tidak ada pertanyaan kenapa aku belum menikah. Hanya dua orang yang sama-sama lelah, tapi mau mencoba mengulangi dari titik paling sederhana.
Sepiring sayur asem. Dan satu pengampunan yang sudah terlalu lama tertunda.