Rumah Nomor 46
Tags: fiksi, misteri, kehidupan sehari-hari
SHORT STORY
Andhika Rafi Sunggoro
8/10/20251 min read


Rumah nomor 46 selalu terlihat kosong.
Pintunya tertutup rapat, jendelanya berdebu, dan cat temboknya mengelupas di beberapa bagian. Tidak ada tanaman di depan rumah. Tidak ada tanda kehidupan.
Aku melewati rumah itu setiap hari saat berangkat kerja. Awalnya tidak pernah peduli. Tapi belakangan, aku mulai menyadari sesuatu: gorden di jendela lantai dua kadang terbuka sedikit, hanya untuk tertutup kembali keesokan harinya.
Tidak ada yang pernah terlihat masuk atau keluar.
Tidak ada suara dari dalam.
Tidak ada lampu yang menyala di malam hari.
Suatu sore, saat pulang kantor lebih awal, aku melihat seorang anak kecil berdiri di depan pagar rumah itu. Dia menatapku, lalu bertanya, “Kakak tahu nggak, kalau rumah ini nggak suka sendirian?”
Aku bingung.
Sebelum sempat bertanya lebih jauh, ibunya memanggil dan menariknya pergi.
Keesokan harinya, saat aku lewat lagi, aku melihat secarik kertas terjepit di pagar rumah nomor 46. Tulisan tangannya kecil, seperti milik anak-anak:
“Mereka pulang jam 3 pagi. Jangan lihat.”
Aku merasa tidak nyaman. Tapi rasa penasaran menang.
Malam itu, aku sengaja terjaga hingga lewat tengah malam. Dari balkon kosku, aku bisa melihat rumah nomor 46 dengan jelas. Awalnya tidak ada apa-apa. Tapi tepat pukul 03.00, aku melihat cahaya redup dari jendela lantai dua. Bayangan seperti orang berjalan mondar-mandir.
Tidak ada suara.
Tidak ada mobil yang datang.
Tidak ada pintu yang terbuka.
Cahaya itu bertahan sekitar 15 menit, lalu padam.
Pagi harinya, gorden jendela lantai dua terbuka sedikit.
Dan di balik celahnya, ada wajah pucat menatap keluar. Bukan wajah yang aku kenal. Bukan juga wajah yang terlihat… sepenuhnya hidup.
Sejak hari itu, aku memilih jalan memutar.
Aku tidak ingin melewati rumah nomor 46 lagi.