Perbincangan di Bangku Taman
Tags: fiksi, urban life, kesepian, refleksi
SHORT STORY
Andhika Rafi Sunggoro
8/24/20251 min read


Aku duduk di bangku taman sore itu, menunggu hujan reda. Tetesannya masih jatuh pelan, menimbulkan bunyi ritmis di atap pos jaga yang sudah berkarat. Udara dingin membuat napas terlihat seperti asap tipis.
Bangku di sebelahku kosong. Biasanya akan terisi oleh pasangan muda yang tertawa keras, atau anak-anak kecil dengan seragam pramuka. Tapi hari itu sepi.
Hingga seorang pria paruh baya datang, membawa payung lipat yang sudah patah di ujungnya. Ia duduk tanpa permisi, seperti sudah akrab dengan bangku itu sejak lama. Aku hanya mengangguk kecil, sekadar sopan.
Kami diam cukup lama. Lalu, tiba-tiba dia berkata,
“Lucu ya, hidup ini. Kita bisa ketemu orang, ngobrol sebentar, lalu tidak pernah bertemu lagi. Seolah-olah pertemuan itu hanya catatan kaki di buku yang tebal.”
Aku terkejut. Kata-katanya muncul tanpa konteks, tapi anehnya terasa masuk akal.
Aku hanya menimpali, “Mungkin memang begitu cara dunia bekerja.”
Dia tersenyum tipis. “Saya sering duduk di sini. Kadang cuma ingin merasa ada yang mendengarkan, meskipun hanya orang asing.”
Aku tidak menjawab. Hanya menatap hujan yang mulai berhenti. Tapi entah bagaimana, aku merasa mengerti.
Setengah jam kemudian, ia bangkit, merapikan payung rusaknya, lalu berkata, “Makasih ya sudah mau duduk bareng. Semoga besok-besok kamu masih bisa bahagia dengan cara sederhana.”
Aku ingin menanyakan namanya, atau setidaknya pamit dengan benar. Tapi lidahku kelu. Dia pergi begitu saja, langkahnya cepat, hingga menghilang di balik deretan pohon flamboyan.
Bangku di sebelahku kembali kosong.
Seperti semula.
Namun aku tahu, obrolan singkat itu akan lama tinggal di kepalaku.
Kadang, justru orang asinglah yang mengajarkan kita arti kehadiran.