Lampu Kota yang Selalu Menyala
Tags: fiksi, urban life, kesepian, refleksi
SHORT STORY
Andhika Rafi Sunggoro
9/1/20251 min read


Di kota ini, lampu jalan tidak pernah mati.
Pagi, siang, malam — selalu ada cahaya yang menyilaukan. Gedung-gedung tinggi seperti berjaga, memantulkan pantulan diri orang-orang yang terburu-buru.
Aku berjalan setiap malam melewati jalan yang sama. Trotoar retak, warung kopi 24 jam, dan layar iklan digital yang tak pernah berhenti berkedip. Semuanya sibuk. Semuanya hidup.
Tapi entah kenapa, aku merasa mati rasa.
Orang-orang berdesakan di halte bus. Ada yang tertawa keras di telepon, ada yang sibuk memesan makanan lewat aplikasi, ada yang tidur dengan kepala tertekuk di kursi. Aku memperhatikan mereka, berharap ada yang menatap balik. Tidak ada.
Di jalan, ratusan motor melaju. Klakson bersahut-sahutan. Tapi suara itu hanya jadi latar yang makin menegaskan sunyiku.
Kadang aku bertanya-tanya, apakah semua orang di kota ini benar-benar saling melihat, atau hanya saling melewati?
Malam ini, aku berhenti di jembatan penyeberangan. Dari atas, kulihat ribuan lampu kendaraan membentuk garis panjang yang tak putus. Cantik, tapi dingin.
Aku duduk di bangku besi yang berkarat. Ada seorang anak kecil menjual tisu. Senyumnya cepat, lalu menghilang saat orang-orang tak membeli. Ada pasangan remaja yang saling merekam dengan kamera ponsel, mungkin untuk diunggah. Ada bapak-bapak tidur dengan jaket menutupi wajahnya.
Semua sibuk dengan dunianya.
Aku membuka ponsel. Chat terakhirku hanya “ok” dari tiga hari lalu. Tidak ada yang menanyakan kabar. Tidak ada yang menunggu.
Di sekelilingku, lampu kota terus menyala. Seperti menertawakan bahwa bahkan tanpa kita, dunia ini tetap berjalan.
Aku menutup mata sebentar, mendengarkan bunyi kota yang padat tapi kosong.
Dan aku sadar, mungkin beginilah hidup di kota besar:
ramai di luar, sepi di dalam.