Apartemen Lantai 12
survival, kota, krisis, lockdown, isolasi, manusia
SHORT STORY
Andhika Rafi Sunggoro
6/15/20252 min read


Hari keempat belas sejak kota ini dikunci total.
Tidak ada yang masuk. Tidak ada yang keluar. Listrik masih menyala, air masih mengalir, tapi toko-toko di bawah sudah tutup sejak seminggu lalu. Internet lambat. Dan suara sirine masih sesekali lewat — seperti pengingat bahwa dunia belum membaik.
Aku tinggal sendiri di apartemen lantai 12. Studio kecil dengan dapur menyatu, kasur lipat, dan jendela yang menghadap langsung ke gedung kosong di seberang. Dulu aku suka pemandangan itu. Sekarang terasa seperti panggung kematian.
Hari pertama, aku panik. Aku turun ke minimarket, membeli apa pun yang bisa dibeli. Mie instan, telur, sabun, tisu, bahkan lilin. Orang-orang berebut seperti kiamat datang lebih cepat dari jadwal. Kasir bilang, “Maksimal 2 per item ya, Mas.” Aku angguk, tapi tetap ambil empat. Maaf.
Hari kelima, aku mulai kehabisan sayur. Aku mencoba menanam kangkung di pot kosong. Gagal. Aku coba lagi dengan bawang merah. Tumbuh, tapi terlalu lambat. Perut tidak bisa menunggu.
Hari kedelapan, aku mendengar suara teriakan dari unit lantai 10. Suara perempuan. Minta tolong. Aku turun pakai tangga darurat. Tapi ketika sampai, sepi. Tidak ada siapa-siapa. Mungkin halusinasi. Mungkin tidak.
Hari kesepuluh, aku mulai membuat jadwal. Bangun jam 7. Sarapan. Latihan fisik ringan. Bersih-bersih. Baca. Makan siang. Diam. Malam. Tidur. Ulangi. Aku kira rutinitas bisa menjaga kewarasan. Ternyata hanya memperjelas seberapa sepinya hari.
Hari kedua belas, koneksi internet mati total.
Aku merasa... putus. Dari dunia. Dari orang. Dari diriku sendiri.
Aku mulai bicara ke cermin. Kadang sambil pura-pura jadi pembawa acara berita. “Selamat malam, Jakarta. Hari ini tidak ada kabar baik. Tapi kami masih hidup.” Kadang aku tertawa sendiri. Kadang aku hanya diam, menatap bayangan wajahku yang mulai tirus.
Hari ketiga belas, lampu mati selama tiga jam. Aku menyalakan lilin. Duduk di lantai. Memikirkan semua hal yang belum sempat kulakukan sebelum ini terjadi.
Minta maaf ke Bapak. Makan siang bareng teman yang dulu sering aku tunda. Pergi ke luar kota. Beli sepatu baru. Mengirim pesan ke seseorang yang pernah aku sayang tapi aku tinggalkan begitu saja.
Kenapa kita selalu mengira masih punya waktu?
Hari keempat belas. Pagi.
Di luar jendela, aku melihat sesuatu berbeda. Ada orang di gedung seberang — di lantai yang sama denganku. Seorang laki-laki tua berdiri di balkon, mengangkat tangan pelan. Menyapa.
Aku terdiam.
Lalu aku angkat tangan juga. Menyapa balik.
Lama kami berdiri begitu saja. Dua orang asing, saling menatap dari dua dunia kecil masing-masing. Lalu dia mengangkat kertas: “APA KABAR?”
Aku menulis di buku, lalu menunjukkan dari balik jendela: “MASIH HIDUP.”
Dia tersenyum. Dan untuk pertama kalinya, sejak dua minggu, aku merasa tidak sendirian.
Aku tidak tahu kapan ini akan selesai.
Tapi sekarang aku tahu — kadang bertahan hidup bukan soal punya makanan, atau sinyal, atau listrik.
Kadang, bertahan hidup hanya butuh satu hal:
Diketahui bahwa kamu masih ada.